Langsung ke konten utama

Cita-Cita Muskito



Unsplash/quran


Abah selalu meminta kepada anak-anaknya supaya kelak ketika salah satu anaknya menjadi seorang dokter, maka tidak boleh membuat pasien merasa tertekan karena penyakitnya, justru harus memotivasi supaya sembuh.

Abah juga mengajarkan anaknya yang akan menjadi dokter itu untuk selalu meminta kepada Allah untuk diberi kemudahan dalam menangani pasien.

Salah satu kandidat dokter adalah Kamila, anak pertama Abah yang sudah punya bakat menduduki peringkat tertinggi berturut-turut di setiap jenjang kelas. Jika berhasil menjadi dokter, nama Kamila akan berubah menjadi Dr. Kamila Ayu.

Abah tak pernah memaksa anaknya untuk menjadi seorang seniman, karena seniman adalah orang yang benar-benar bisa melihat keindahan yang mungkin tidak orang lain lihat yang dikonkret menjadi sebuah karya. Entah rupa, suara, lukis, tari, musik, dan sebagainya. Jika seorang seniman dianggap sebagai sebuah pekerjaan, Abah tidak meyakini hal itu. Bagaimanapun juga, bagi Abah keindahan sebuah karya tidak bisa dihargai sebatas UMR bulanan.

Nilai karya justru dihargai jika ada orang yang menikmati karya, dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sebuah lukisan seharga satu miliar, dan berhenti di dinding tembok pada rumah kosong, sama halnya bentuk penghargaan yang tidak bernilai. Abah ingin jika ada anaknya yang menjadi seniman, upayakan membuat karya yang selalu bisa terngiang-ngiang di kepala setiap orang. Anak terakhir Abah, Muskito tidak ingin menjadi seniman.

"Abah tahu, kau tak ingin jadi seniman, namun Abah melihat ada darah seni yang mengalir dalam dirimu, Mus," kata Abah, "ibumu seorang sinden, simbah dari ibumu seorang pelukis, pakdemu itu dalang terkenal, Mus, jika kau jadi seniman, memang tidak akan ada gelar yang memenuhi samping kanan-kiri namamu, hanya saja, oang-orang akan mempercayaimu mahir terhadap keahlian,"

Muskito terdiam. Kemala menutup alquran dan pamit kepada Abah untuk belajar. Tinggalah Muskito dengan Abah dan Ibunya.

Muskito masih tak bergeming.

"Lalu, kau ingin jadi apa?"

Muskito menunduk sambil menggeser pantatnya ke depan mendekati Abahnya sambil menjawab, "Guru ngaji, Pak,"

"Aku bahkan bisa menambah gelar di depan namaku: ustaz, Ustaz Muskito,"

Mata Abah sedikit melotot, dan bibir tetiba terkunci. Ibu yang selonjoran di samping Abah terkekeh melihat reaksi Abah.

***
Setelah lulus dari fakultas kedokteran, Kamila benar membuktikan perkataan Abahnya, Kemala sekarang menjadi dokter umum, dan selalu ingat pesan Abah untuk senantiasa dekat dengan Allah. Kamila hidup bersama suaminya yang sama-sama dokter, dan membuka praktik tidak jauh dari rumah mereka, sekaligus membangun rumah di sana.

Muskito yang bercita-cita menjadi guru mengaji, merawat cita-cita itu, sampai menunggu waktu yang tepat. Baru-baru ini, ia memiliki ide untuk memulai 'karir' nya itu. Ia tetap bersikeras mencari murid yang ada di sekitar langgar kampungnya.

Entah satu atau dua anak, cukuplah untuk memulai. Namanya juga berguru, tidak ada paksaan. Lagipula, mana ada orang tua yang tak menginginkan anaknya mengaji. Menjadi guru mengaji, baginya adalah pekerjaan yang laris di desa.

Sore hari, sebelum adzan magrib, ia meminta restu kepada Abah dan ibunya untuk memulai 'karir' nya. Ia berharap Abah dan ibunya mendoakan semoga di kampungnya yang mau menjadi muridnya. Abah dan Ibu hanya bisa menarik napas mendengar tentang keinginan Muskito.

Solat magrib berakhir. Biasanya anak-anak melingkar mengelilingi Pak Haji Soleh untuk antre satu persatu duduk di depannya, dan mengaji.

Namun, saat itu keadaan berbeda. Muskito tak melihat batang hidung Pak Haji Soleh. Dampar kayu pun tidak di tata seperti biasanya anak-anak mengantre mengaji.

Mata Muskito mengelilingi langgar, hanya ada anak-anak yang biasa mengaji dengan Pak Haji Soleh sedang berlari-lari.

"Apakah ini, waktu yang engkau berikan, ya Allah," batin Muskito.

Muskito meletakkan dampar di depan badannya. Ia pun duduk bersila. Mengambil buku Juz Amma. Mengahalau-halau anak-anak yang berlarian sambil membawa bersampul merah sama seperti milik Muskito.

Tak ada tanggapan.

Mereka berkejar-kejaran satu sama lain. Muskito hanya melihat ada satu anak yang berpakaian lusuh dan berpeci pudar, duduk mengantuk-ngantuk bersandar di tiang kayu langgar; menjadi harapannya.

Tak sengaja tatapannya menemui sosok Muskito yang sedang mengahalunya. Matanya pun terbuka, dan malas-malasan mendekati Muskito.

Ia adalah salah satu anak yang berhasil membuat Muskito tersenyum. Dalam batin Muskito merasa Tuhan cukup berpihak pada cita-citanya yang mulia ini.

Anak itu duduk di depan Muskito dengan wajah sayu. Seperti sudah tidak tidur selama seminggu. Ia membuka Juz Ammanya di halaman yang telah ia tandai dengan potongan sapu lidi.

"Ayo, sekarang baca dan bunyikan," ujar Muskito pada anak itu. Anak itu menatap wajah Muskito dengan wajah ragu. Dan memulai mengaji dengan suara lirih,

"Bismillahirrahmanirrahim, alif fatah a, lam sukun, al,"

Muskito memicingkan matanya, membuka pecinya sedikit, dan menggaruk-garuk kepalanya dengan nada pelan, "Alhamdulilillahirobbil... "

Wajah anak itu menatap cemas ke arah Muskito, dan melanjutkan mengeja huruf Arab itu dengan sedikit terbata-bata dari sebelumnya, dengan nada yang tambah pelan, "Ha fathah ha, mim suk.. "

Tanpa sabar menunggu anak itu selesai mengeja, Muskito dengan tiba-tiba mengucapkan kalimat, "Alhamdulilahirobbilalaminn..."
dengan kencang, dan membuat anak itu tersentak dan menangis dengan kencang.

Tidak ada satupun orang tua di langgar itu, yang mampu menolongnya, kecuali anak-anak yang sedari tadi ber lari-lari berhenti melihat ke arah Muskito dengan wajah menyalahkan.

Muskito terbayang Sukesi.

***
Suatu pagi, Sukesi, anak Pak Lurah berbelanja di pasar desa. Tak ada laki-laki yang tidak terpesona dengan keindahan Sukesi.

Tubuh Suksesi berisi, membentuk lekukan yang pas di bagian pinggulnya, lekukan indah yang lain berada pada bibirnya. Bibir yang tebal, namun lekukan bibirnya nyaris seperti burung elang yang sedang terbang sempurna. Lekukan-lekukan itulah yang membuat laki-laki selalu senang melihat Sukesi.

Setiap waktu salat, Sukesi rajin pergi ke langgar. Selepas magrib Sukesi juga rajin mengaji dengan Pak Haji Soleh. Sukesi membantu Pak Haji Soleh untuk mengajari anak-anak perempuan untuk merampungkan jus ammanya. Sukesi tak pernah absen mengajari anak-anak mengaji, jika ia tak sedang kedatangan tamu.

Muskito tak pernah tahu bahwa Sukesi melihat kejadian anak laki-laki menangis di hadapannya.

*Dampar: meja panjang yang terbuat dari kayu untuk tempat alquran
(2019)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Ranting Kekasihku

  Lekat Kau ranting dan aku daun Aku enggan lepas walau angin merayu-rayu Jalanan mulai basah rintik ritmis Yang hendak memandikan sekujur tubuhku Tiada bulan, pada malam itu Kau ranting yang basah tetap memegang erat tanganku Yang lain terbang berjatuhan dan bahagia Aku terpanggil-panggil untuk mengikuti mereka Namun, lamat – lamat kau berbisik untuk aku tetap tinggal Karena di bawah sana akan ada air besar Yang akan menyeret tubuhku hingga tak akan lagi, aku Yang t erlihat di dekat pohon itu.   Maret 2021 Aku, ranting dan danau Aku berkaca lewat air danau di bawah sana Apa yang bisa kulihat selain diri yang mungil menggenggam ranting, kekasihku Tiada batang akar, dan dia, tiada pula aku Angin dan hujan dan matahari selalu menjadi kawan Menjadi musuh pula, musuh usia Tiada mereka aku tak akan menari-menari Merekapun bisa menjadikanku rapuh dan terjatuh Namun, akar berjanji akan memegangku teguh   Danau di bawah sana siap menangkapku ka

bagaimana cara meluruhkan penyesalan

foto/unsplash/meditation ketika penyesalan dan cemas melanda, adalah perasaan yang sering menggangu. apalagi berkaitan dengan orang lain justru akan lebih rumit. mungkin terjadi karena keputusan yang tidak dipertimbangkan dengan matang, atau dengan tidak berpikir dua kali. lalu apa yang harus dilakukan? orang banyak menyebutnya dengan healing. bisa healing besar-besaran karena masalah besar, atau healing biasa saja dengan masalah yang tidak begitu rumit, namun sedikit menganggu untuk melangkahkan kaki ke tempat berikutnya. baru saja, saya mengalaminya. membuat sebuah keputusan yang salah, dan akhirnya menyesal. kemelut dalam pikiran saya sangat menganggu. walaupun urusan dengan orang lain sudah terselesaikan, namun dengan diri sendiri belum. ini pernah terjadi sebelumnya, namun mengapa pembelajaran yang dulu tidak terlalu membekas di dalam kehidupan saya? akhirnya saya melamun. lalu berpikir menggunakan situasi ini untuk meneliti diri saya: apakah saya bisa healing? bagaima