Lekat
Kau ranting dan aku daun
Aku enggan lepas walau angin merayu-rayu
Jalanan mulai basah rintik ritmis
Yang hendak memandikan sekujur tubuhku
Tiada bulan, pada malam itu
Kau ranting yang basah tetap memegang
erat tanganku
Yang lain terbang berjatuhan dan bahagia
Aku terpanggil-panggil untuk mengikuti
mereka
Namun, lamat – lamat kau berbisik untuk
aku tetap tinggal
Karena di bawah sana akan ada air besar
Yang akan menyeret tubuhku hingga tak
akan lagi, aku
Yang terlihat di
dekat pohon itu.
Maret 2021
Aku, ranting dan danau
Aku berkaca lewat air danau di bawah sana
Apa yang bisa kulihat selain
diri yang mungil menggenggam ranting, kekasihku
Tiada batang akar, dan dia, tiada pula aku
Angin dan hujan dan matahari selalu menjadi kawan
Menjadi musuh pula,
musuh usia
Tiada mereka aku tak akan menari-menari
Merekapun bisa menjadikanku rapuh dan terjatuh
Namun, akar berjanji akan memegangku teguh
Danau di bawah sana siap menangkapku kapan saja
Dan mengembalikanku walau pada saat yang berbeda
Karena pohon dan danau bersahabat sejak lama
Tiada musuh di antara mereka
Mereka saling memberi dan menumbuhkan
Danau di bawah sana adalah ibu bagi para pohon
Yang menyusui pohon hingga tak ingin pohon mati
Karena aku, pohon, dan danau akan mati sendiri.
Maret 2021
Kisahku dan Kekasihku di Ujung Tebing
Aku dan ranting di ujung tebing,
Hampir terjatuh
Tertiup angin
Entah siapa yang membawa
Tiba-tiba saja kita ada di sana
Silau sinar matahari
Aku berlindung di balik ranting
Burung – burung gurun mulai bertengger pada kekasihku
Dia hanya tersenyum
Dan berbisik, “jujur ini adalah hal yang luar biasa,
aku bisa berbincang kepadanya dari tempat tertinggi,”
Kulihat burung itu masih asik bertengger di lengan kekasihku
yang mungil
Dan menatap langit hingga mulutnya berkicau lalu terbang
Aku memunculkan tubuhku yang layu karena takut
Namun, kekasihku tetap kokoh menantang angin
Maret 2021
Momiji dan Kakek yang Bahagia
Musi semi mengantarkan
Seorang kakek duduk di bangku tua
Kekasihku lengah dan aku hilang kendali dari genggamannya
Aku melayang
Dan jatuh pada tangan yang tepat
Ia, menangkapku seraya berkata
Daun yang
malang
Di Jepang, ia memandang momiji
Aku di genggamannya dan matanya tertuju pada
ranting-ranting yang ramai warna
Hembus napasnya terlihat pada kembang kempis dadanya
Tiada masygul matanya
Seperti ada kenangan yang meroket namun, tidak
mengubah warna daun-daun momiji
Dan kenanganku tertuju kekasihku
Yang menghalau di atas sana
Memanggil – manggil khawatir untuk kembali
Aku mengikuti arah angin dan tangan kakek membuka
Dan melewati kekasihku
lalu kudigapainya:
kembali.
Maret 2021
Antara
Musim semi yang gelap
Sering kali membuat
Kekasihku tak terlihat
Yang kekar
Di antara rerimbun
bibir-bibir mereka menutupi hal yang nyata
dari mataku
Aku ingin kembali ke asalku
Bermuasal tak kekal
Yang rapuh tua dan terjatuh pada saatnya
Dan dingin itu tetiba saatnya menyelimutinya
Tiada aku yang menunggu
Hanya dia yang berdiri selamanya
Tiada aku yang menunggu
Aku yang hanya bisa jatuh
Di antara tiang-tiang dahan kau akan tetap kekal, kekasih
Di antara kau kekasihku, aku pasti akan terjatuh.
Maret 2021
Sajak ini tidak bisa jika tidak ditulis karena ada rasa yang ingin muntab tapi tidak bisa dan tidak harus dikeluarkan dengan kata-kata atau kalimat yang tiada semestinya karena kalut rasa. Ini menandakan, rasa masih bisa dibagikan dengan kata-kata yang mungkin saja indah dan berbagai rasa itu bisa kita metaforakan, analogikan, atau dalam bentuk lain. Walau tiada yang mengerti, percayalah kata-kata ini hidup di dalam hati dan merasakan. Jika kalian merasakan apa yang aku rasakan boleh komentar ya. Terima kasih. :)
Dengan penuh cinta,
Kama.
Sumber gambar: https://www.google.com/search?q=ranting&safe=active&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwjO2c2H_pbvAhWDYisKHVSmArgQ_AUoAXoECA8QAw&biw=1366&bih=638#imgrc=4GqsZYJtARPOcM&imgdii=FPoDk3ts0nC_dM
Komentar
Posting Komentar