Langsung ke konten utama

Ada yang Tahu, Saya sedang Ada Di mana?



Unsplash/waves


Memisahkan kehidupan di dunia bukan berarti meninggalkan kehidupan di dunia, ia tumpangtindih, seperti ombak dan daratan. Ombak sesekali akan menuju daratan, dan sesekali pergi menjauh: tak selamanya menetap. Dan daratan tak berharap banyak untuk disinggahi ombak, namun setiap ketika ada angin, angin mau membawa menyinggahi kehidupan, bahkan dengan besar. 

***

Hallo,
Manusianya ada?
Oh, tidak ada ya?
Kira-kira Manusia ada di mana ya?

Mengurusi segala kehidupan di dunia bukanlah kuasa kita. Konsep Tuhan jelas meniadakan manusia sebagai pemilik abadi, dunia bukanlah milik manusia. Kita dihidupkan dan diciptakan hanya sebagai "tamu" yang dimuliakan, walau tak diagungkan.

Penggunaan diksi ini sudah membedakan perspektif di mana posisi manusia, dengan posisi Tuhan yang sebagai Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Besar jelas pada tingkatan yang berbeda.

Mulia adalah terhormat, yang tinggi. Maksudnya posisi ini tertinggi dari posisi manusia. Maka dari itu, manusia hidup di dunia untuk mencari posisi sebagai manusia itu sendiri. Jika merasa lebih agung dari Tuhan, atau lebih rendah dalam tingkatan yang lain, perlu adanya reposisi.

Reposisi itu perlu waktu, perlu kesungguhan, perlu seni, dan sedikit humor. Dalam reposisi, kejatian manusia dalam mencapai tingkatan yang utuh dibentuk oleh konstrikuksi-konstruksi yang ada di dalam atau di diri manusia.

Dari dalam diri manusia yang dicapai adalah bagaimana memahami konsep semesta biologi, psikologi, filsafati, untuk menemukan kebutuhan diri manusia yang sesuai apa yang ia butuhkan. Apa-apa yang ia butuhkan, bergantung pada kesadaran yang telah mereka tempuh dengan pencarian, pengalaman, pengujian, dan penyimpulan-penyimpulan yang pada akhirnya membentuk karakter/jati itu secara perlahan, lembut, dan dengan sadar.

Dari luar manusia, yakni manusia dikonstruksi oleh aspek-aspek yang telah disepakati oleh banyak individu. Seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, pendidikan.

Seno Gumira Ajidarma, dalam pidato kebudayaanya mengatakan, kebudayaan adalah pertarungan wacana ideologi-ideologi yang begitu banyak. Dan ideologi terkuat lah yang bisa menghegemoni kehidupan manusia itu sendiri. Hegemoni ideologi itu salah satunya menjadi faktor yang bisa mengonstruksi manusia.

Secara bijak, menerima hegemoni adalah sebuah kesepakatan sosial sebuah apresiasi kekuatan untuk masuk ke dalam diri secara sadar maupun tidak sadar. Namun, untuk menyadarinya, dan tidak memilih hegemoni itu adalah sebuah kekuatan yang luar biasa sebagai kaum "pelawan arus" dan menjadi diri sendiri.

Memisahkan Kehidupan dengan Dunia

Memisahkan kehidupan di dunia adalah salah satu cara untuk memahami apa yang dibutuhkan oleh diri sendiri. Apakah kita butuh bahagia, butuh sedih, butuh kecewa, kesakitan, perasaan kagum, atau perasaan - perasaan lain yang ingin kita gapai?

Hubungan antar manusia yang saya pahami adalah hubungan yang bisa menyatukan kita dengan dunia pertama kali hidup, dan terhanyut, dan melupakan lapisan-lapisan dunia yang lain.

Semakin kita melekat dengan manusia secara material, maka hubungan antara pribadi semakian menyatu. Segala permasalahan yang timbul justru bergulat pada hal-hal yang hanya dilihat oleh mata. Berteman dengan kepalsuan sebuah hubungan, akan membuat rasa kecewa, jengkel, dengki, iri semakin membesar, walaupun sebenarnya tidak perlu. Ini terjadi karena terlalu erat dalam menjalin pertemanan tanpa rumus es buah dalam sebuah mangkok. buah-buah memiliki tugas memberi rasa masing-masing, namun kebudayaan membuat cairan susu dan sirup serta es, melengkapi hasil kebudayaan tersebut dan layak dinikmati.

Maka, Kahlil Gibran berkata kira-kira seperti ini: berdirilah kalian sejajar dan jangan terlalu dekat, sebab tiang-tiang masjid pun tidak dibangun terlalu rapat, begitu pula pohon jati pohon cemara, mereka tidak tumbuh dengan bayangan satu dengan bayangan lainnya.

Rapat, erat, menyatu (dengan dunia) bukan sebuah tujuan, namun seperti tiang-tiang di masjid, yang berdiri kokoh, bisa menopang, walau berjauhan, bisa menegakkan bangunan.

Memisahkan kehidupan di dunia bukan berarti meninggalkan kehidupan di dunia, ia terangkai seperti ombak dan daratan. Ombak akan menuju daratan, dan akan pergi menjauh, tak selamanya menetap. Dan daratan tak berharap banyak untuk disinggahi ombak, namun setiap saat ketika ada angin, ia akan membawanya untuk singgah.

2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apakah Bahagia Benar Menjadi Salah Satu Tujuan Hidup?

Unsplash/happy Dari pandangan tentang tujuan kehidupan manusia, Aristoteles memilih kata kebahagiaan sebagai jawabannya. Namun, apakah Aristoteles serta merta mengamini tujuan itu? Dan apakah tujuan tersebut membuat manusia tahu tujuan hidupnya?  Kebutuhan menjadi manusia, adalah yang sedang aku cari selama ini. Menjadi manusia kata Aristoteles memiliki tujuan mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan itu bisa di dapat dengan mencapai sebuah kenikmatan. Kenikmatan yang musti kita cermati, yakni kenikmatan yang sebenar-benarnya dapat memenuhi menjadi manusia itu sendiri. Ia mencontohkan, makan dan sex serta menghindari rasa-rasa sakit adalah capaian kebutuhan kenikmatan ala "hewan ternak".  Ya, apa yang dilakukan ternak ia akan mencari makan ketika lapar, dan sex, tentu ia akan mencari pasangan yang mau melakukan hubungan itu, serta siapa-apa yang akan menyakitinya mereka akan lari ataupun menyerang. Itu semua adalah kenikmatan untuk mencapai bahagia: tujuan dari hid...

Mengambil Jarak dengan Uang

                   Sumber foto: unsplash Mengambil sikap berjarak dengan uang merupakan sebuah keputusan yang sulit. Mengambil jarak maksudnya, bagaimana saya kembali menjadi 'tuan' mereka, setelah selama ini saya mempertuankan uang. Uang mengontrol saya, hingga saya merasa begitu dikontrol uang. Bayangkan, setiap waktu saya ingin bersama uang, menempelkan tangan pada dompet saya dengan intensitas yang tinggi di setiap harinya. Uang berkurang tanpa prediksi, dan perencanaan, kelimpungan, dan serba salah ketika menipis. Dan karena alasan-alasan tersebut, membuat saya untuk secepatnya mengambil keputusan untuk tidak terlalu dekat-dekat dengan uang. Menghabiskan waktu dengan uang: mendapatkan ataupun menggunakan, sama saja  melekatkan diri saya dengan uang. Hingga di suatu titik, saya memandang standar kehidupan bahagia mengukurnya dengan nominal uang yang ada di rekening saya. Saya bisa membeli apapun dengan uang dan hidup say...