Langsung ke konten utama

Apakah Bahagia Benar Menjadi Salah Satu Tujuan Hidup?




Unsplash/happy

Dari pandangan tentang tujuan kehidupan manusia, Aristoteles memilih kata kebahagiaan sebagai jawabannya. Namun, apakah Aristoteles serta merta mengamini tujuan itu? Dan apakah tujuan tersebut membuat manusia tahu tujuan hidupnya? 

Kebutuhan menjadi manusia, adalah yang sedang aku cari selama ini. Menjadi manusia kata Aristoteles memiliki tujuan mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan itu bisa di dapat dengan mencapai sebuah kenikmatan. Kenikmatan yang musti kita cermati, yakni kenikmatan yang sebenar-benarnya dapat memenuhi menjadi manusia itu sendiri. Ia mencontohkan, makan dan sex serta menghindari rasa-rasa sakit adalah capaian kebutuhan kenikmatan ala "hewan ternak". 

Ya, apa yang dilakukan ternak ia akan mencari makan ketika lapar, dan sex, tentu ia akan mencari pasangan yang mau melakukan hubungan itu, serta siapa-apa yang akan menyakitinya mereka akan lari ataupun menyerang. Itu semua adalah kenikmatan untuk mencapai bahagia: tujuan dari hidup ini. 

Belum selesai membaca bukunya, yang saya dapatkan dari ipusnas, dan di dalam daftar isi masih banyak bab-bab yang perlu saya jelajahi. Namun, sampai pada bab awal ini: kenikmatan sebanyak-banyaknya, cukup membuat saya berhenti untuk menjadi bahan permenungan. Filsafat yang disampaikan Aristoteles justru memunculkan hipotesa - hipotesa baru. 

Aristoteles mengungkapkan ada aliran filsafat untuk mancapai tujuan hidup itu. Yakni hedonisme. Dari kata hedone: yang berarti nikmat bahagia, manusia cenderung mengusahakan apa yang membuat mereka bahagia, dan menghindari rasa sakit. 

Pandangan ini cukup menarik karena, sudah banyak manusia yang menganut paham ini, sadar ataupun tanpa mereka sadari. Hedonisme yang banyak mengartikan hidup kemewah-mewahan ini sudah menjangkiti manusia dalam kehiupan mereka. 

Satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa Aristoteles justru serta merta menolak pandangan ini. Mengapa? Karena mengusahakan rasa nikmat dan bahagia justru mereka akan jauh dari rasa nikmat itu sendiri, bahwa mereka justru memenuhi kebutuhan nafsu mereka sendiri. 

Ia berendapat, rasa sakit adalah sesuatu kesatuan dalam tujuan hidup itu sendiri. Bahkan, rasa sakit perlu diterima untuk kita hidup menjadi lebih baik lagi. Semakin ditolak rasa sakit itu, maka manusia tak terhambat dalam mengondisikan nafsunya. Justru, kebahagiaan itu tak akan tercapai. 

Permenungan ini, memotivasi saya memunculkan pemaknaan dan sedikit aksi yang sudah mulai saya terapkan. Namun, lagi-lagi hipotesa-hipotesa mulai muncul. 

Jika kenikmatan adalah tujuan hidup, dan kita musti menerima rasa sakit, maka bagaimana memaknai sebuah kerja keras untuk mencapai sebuah impian? apakah kerja keras yang diupayakan untuk mencapai kebahagiaan serta merta musti diseimbangkan dengan tetap menerima, atau menepiskan diri untuk tetap dalam keadaan keduanya: menerima nikmat dan rasa sakit? 

Teringat pandangan filsafat orang jawa yakni hidup prihatin, yakni pandangan dan bahkan laku hidup yang sederhana, dan menahan nafsu-nafsu yang membuatnya menjadi nikmat yang berlebih. Secara sadar, pelaku prihatin justru menjadi orang yang sederhana, dan menyakini apa yang mereka pilih adalah filsafat: wani perih. 


Hedonisme merupakan paham barat, dan laku prihatin pandangan Jawa (bisa disebut timur?) dalam menjalani kehidupan memiliki pandangan yang berbeda. Namun, agaknya Aristoteles yang memandang hedonisme yang menjadi fenomena yang ia lihat, justru menawarkan seperti laku prihatin filsafat orang jawa. 

Pandangan lain dari filosofi tionghoa, Yin dan Yang. Yin adalah wanita dan Yang adalah laki-laki. Inti dari hal tersebut adalah dua unsur keberadaan yang berlawanan tetapi saling melengkapi.

Cahaya yaitu Yang digambarkan dengan warna putih, bergerak naik berpadu dengan kegelapan yaitu Yin yang digambarkan dengan warna hitam dan bergerak turun.

Yin dan Yang adalah kekuatan yang berlawanan, tergantung dari aliran siklus alami. Mereka selalu mencari keseimbangan meskipun mereka bertentangan, tetapi mereka tidak selalu bertentangan satu sama lain. 

Sebagai bagian dari Tao, mereka hanyalah dua aspek realitas yang sebenarnya berdiri sendiri. Masing-masing mengandung unsur dari yang lainnya, karena itu terdapat titik hitam dari Yin pada bagian putih dan begitu pula sebaliknya. Mereka tidak hanya sekadar saling menggantikan, namum mereka menjadi bersatu sama lain melalui aliran konstan alam semesta.

Dari sebuah pandangan tentang tujuan manusia, Aristoteles atau filsafat lain, cendrung menggiring manusia untuk tetap memahami dua kebutuhan menjadi manusia itu sendiri, yakni mengusahakan rasa nikmat, dan jangan menghindari rasa sakit. Bahwa, dari keduanya justru akan membuat kehidupan yang lebih baik. Walaupun keduanya unsur yang berlawanan tetapi akan saling melengkapi. 


Referensi:
Frans Magnis-Suseno.2016.Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles:----, ---
Suhttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Yin_dan_Yang

(2019) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada yang Tahu, Saya sedang Ada Di mana?

Unsplash/waves Memisahkan kehidupan di dunia bukan berarti meninggalkan kehidupan di dunia, ia tumpangtindih, seperti ombak dan daratan. Ombak sesekali akan menuju daratan, dan sesekali pergi menjauh: tak selamanya menetap. Dan daratan tak berharap banyak untuk disinggahi ombak, namun setiap  ketika ada angin, angin mau membawa menyinggahi kehidupan, bahkan dengan besar.  *** Hallo, Manusianya ada? Oh, tidak ada ya? Kira-kira Manusia ada di mana ya? Mengurusi segala kehidupan di dunia bukanlah kuasa kita. Konsep Tuhan jelas meniadakan manusia sebagai pemilik abadi, dunia bukanlah milik manusia. Kita dihidupkan dan diciptakan hanya sebagai "tamu" yang dimuliakan, walau tak diagungkan. Penggunaan diksi ini sudah membedakan perspektif di mana posisi manusia, dengan posisi Tuhan yang sebagai Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Besar jelas pada tingkatan yang berbeda. Mulia adalah terhormat, yang tinggi. Maksudnya posisi ini tertinggi dari posisi manusia. Maka da...

Mengambil Jarak dengan Uang

                   Sumber foto: unsplash Mengambil sikap berjarak dengan uang merupakan sebuah keputusan yang sulit. Mengambil jarak maksudnya, bagaimana saya kembali menjadi 'tuan' mereka, setelah selama ini saya mempertuankan uang. Uang mengontrol saya, hingga saya merasa begitu dikontrol uang. Bayangkan, setiap waktu saya ingin bersama uang, menempelkan tangan pada dompet saya dengan intensitas yang tinggi di setiap harinya. Uang berkurang tanpa prediksi, dan perencanaan, kelimpungan, dan serba salah ketika menipis. Dan karena alasan-alasan tersebut, membuat saya untuk secepatnya mengambil keputusan untuk tidak terlalu dekat-dekat dengan uang. Menghabiskan waktu dengan uang: mendapatkan ataupun menggunakan, sama saja  melekatkan diri saya dengan uang. Hingga di suatu titik, saya memandang standar kehidupan bahagia mengukurnya dengan nominal uang yang ada di rekening saya. Saya bisa membeli apapun dengan uang dan hidup say...