Secara teoretis, sastra dibedakan menjadi dua. Pertama, karya sastra kreatif (creat/menciptakan),
yang kedua karya satra ilmiah. Karya sastra yang pertama mengacu pada
karya sastra imajinatif, yakni puisi, prosa, dan drama, sedangkan
sastra ilmiah, atau karya non-imajinatif mengacu pada kritik, teori, dan
sejarah sastra. Linguis Perancis meyakini terdapat salah satu bentuk karya sastra yang diyakin sebagai karya sastra non-imajinatif, yakni esai. Namun, pandangan tersebut belum diterima di Indonesia. Di Indonesia, masih menempatkan esai sebagai karya non-fiksi, bahkan disebut ilmiah populer.
Namun, bukankah sebuah keanehan, kata 'sastra' yang berarti pengajaran itu, mulanya datang secara mandiri, membawa sebuah konsep yang independen, tetiba ada sesuatu yang sengaja membelahnya menjadi dua. Dan penamaan hasil pembagiannya menyisipkan sebuah watas berupa kata menjadi frasa yang maknanya justru sangat sempit dengan kata induknya yakni sastra, yakni menjadi: karya sastra. Dengan karta lain, mendikotomikan konsep sastra dibagi menjadi karya sastra tidaklah seimbang baik secara makna, ataupun secara perluasan konsep.
Walaupun ada yang berpendapat bahwa sastra berkaitan erat dengan karya sastra, atau sastra = karya sastra, bagi saya, sastra bukanlah sekadar karya. Melihat sastra sebagai bentuk seperti melihat sebuah danau yang luas, namun tidak melihat bahwa salah satu fungsi utama danau adalah penampung air, dan menjadi penyimpan cadangan air, ketika musim kemarau.
Seperti melihat fungsi utama danau sebagai penampung air dan menjadi penyimpan cadangan air, saya melihat sastra merupakan sebuah pengajaran. Dulce at Utile. Indah dan bermanfaat. Menempatkan fungsi sastra adalah sebuah pengajaran merupakan sebuah prinsip yang dapat dihayati penulis, atau pengarang dalam membuat karya sastra.
Bagaimana penulis menyiapkan muatan-muatan pengetahuan dalam muatan cerita, atau bahkan me-reka sedemikian rupa adegan yang berupa permasalahan sehari-hari yang dilakukan pembaca, menuju sebuah pembelajaran, mempersiapkan solisi jika ada masalah-masalah itu datang. Dalam kondisi ini, pembaca sangat diuntungkan. Karena pengetahuan permasalahan masyarakat ia dapat awal, maka ia tidak akan terbelenggu dengan masalah yang belum ia kuasai.
Masyarakat telah mengerti bahwa, dalam perkembangan ilmu pengetahuan, apalagi jika ditambahkan dalam bidang pengajaran di sekolah, sastra tidak hanya bisa dipandang sebagai sebuah karya yang didekati dengan struktural, atau struktur isi, namun merambah pada fungsionalitas penggunaanya. Pendekatan secara fungsional dirasa efektif, karena karya sastra tidak terlahir dari kekosongan budaya. Ia berasal dari permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Menggunakan karya sastra untuk mendekati masyakarat untuk membangun karakter-karakter yang dapat ditimbulkan setelah membaca karya sastra seperti empati, simpati, saling tolong menolong, itulah sastra.
Secara abstrak tempat sastra berada dalam tiga hal yakni: jiwa, rasa, dan raga. Dari ketiga hal itu, ada yang berpendapat, rasa adalah substansi yang penting dalam membentuk karya sastra. Dalam pembelajaran kepada anak misal, anak membaca karya sastra, dan diharapkan mampu merealisasikan rasa menjadi sebuah sikap yang dapat menolong kehidupannya, seperti sikap tolong menolong, mandiri, percaya diri, dll.
Dari beberapa penjelasan di atas, sebenarnya ada satu hal yang menjadi perhatian saya. Yakni dalam 'gejala' bersastra walaupun mungkin bagiannya cenderung sedikit, ada salah satu ruang dan waktu yang tidak pernah ditemukan dan dilihat namun, dirasakan keberadaanya. Berada pada tepat sebelum akhir proses penerimaan karya sastra entah apresiasi, ekspresi, maupun kreasi. Tepat ketika mendapatkan momen:"Oh, ya!". Bagi saya, momen itu amatlah penting. Momen itu menunjukkan adalah sesuatu yang masuk ke dalam jiwa dan rasa pada penikmat sastra. Seringkali, saya membaca karya sastra dan tidak mendapatkan momen tersebut, dan alih-alih terpuaskan, membaca karya sastra justru merasa hampa. Tak segan, saya harus mengulanginya kembali untuk mendapatkan momen tersebut.
Momen:"Oh, ya!" dapat dikatakan merupakan salah satu tahapan dalam fase apresiasi sastra. Namun, tahapan ini bisa dikatakan sebagai kunci, membangun ingatan bahwa kita telah 'mendapatkan' karya sastra itu, baik secara bentuk, keindahan, dan fungsi. Bukankah itu yang kita harapkan?
2019
Namun, bukankah sebuah keanehan, kata 'sastra' yang berarti pengajaran itu, mulanya datang secara mandiri, membawa sebuah konsep yang independen, tetiba ada sesuatu yang sengaja membelahnya menjadi dua. Dan penamaan hasil pembagiannya menyisipkan sebuah watas berupa kata menjadi frasa yang maknanya justru sangat sempit dengan kata induknya yakni sastra, yakni menjadi: karya sastra. Dengan karta lain, mendikotomikan konsep sastra dibagi menjadi karya sastra tidaklah seimbang baik secara makna, ataupun secara perluasan konsep.
Walaupun ada yang berpendapat bahwa sastra berkaitan erat dengan karya sastra, atau sastra = karya sastra, bagi saya, sastra bukanlah sekadar karya. Melihat sastra sebagai bentuk seperti melihat sebuah danau yang luas, namun tidak melihat bahwa salah satu fungsi utama danau adalah penampung air, dan menjadi penyimpan cadangan air, ketika musim kemarau.
Seperti melihat fungsi utama danau sebagai penampung air dan menjadi penyimpan cadangan air, saya melihat sastra merupakan sebuah pengajaran. Dulce at Utile. Indah dan bermanfaat. Menempatkan fungsi sastra adalah sebuah pengajaran merupakan sebuah prinsip yang dapat dihayati penulis, atau pengarang dalam membuat karya sastra.
Bagaimana penulis menyiapkan muatan-muatan pengetahuan dalam muatan cerita, atau bahkan me-reka sedemikian rupa adegan yang berupa permasalahan sehari-hari yang dilakukan pembaca, menuju sebuah pembelajaran, mempersiapkan solisi jika ada masalah-masalah itu datang. Dalam kondisi ini, pembaca sangat diuntungkan. Karena pengetahuan permasalahan masyarakat ia dapat awal, maka ia tidak akan terbelenggu dengan masalah yang belum ia kuasai.
Masyarakat telah mengerti bahwa, dalam perkembangan ilmu pengetahuan, apalagi jika ditambahkan dalam bidang pengajaran di sekolah, sastra tidak hanya bisa dipandang sebagai sebuah karya yang didekati dengan struktural, atau struktur isi, namun merambah pada fungsionalitas penggunaanya. Pendekatan secara fungsional dirasa efektif, karena karya sastra tidak terlahir dari kekosongan budaya. Ia berasal dari permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Menggunakan karya sastra untuk mendekati masyakarat untuk membangun karakter-karakter yang dapat ditimbulkan setelah membaca karya sastra seperti empati, simpati, saling tolong menolong, itulah sastra.
Secara abstrak tempat sastra berada dalam tiga hal yakni: jiwa, rasa, dan raga. Dari ketiga hal itu, ada yang berpendapat, rasa adalah substansi yang penting dalam membentuk karya sastra. Dalam pembelajaran kepada anak misal, anak membaca karya sastra, dan diharapkan mampu merealisasikan rasa menjadi sebuah sikap yang dapat menolong kehidupannya, seperti sikap tolong menolong, mandiri, percaya diri, dll.
Dari beberapa penjelasan di atas, sebenarnya ada satu hal yang menjadi perhatian saya. Yakni dalam 'gejala' bersastra walaupun mungkin bagiannya cenderung sedikit, ada salah satu ruang dan waktu yang tidak pernah ditemukan dan dilihat namun, dirasakan keberadaanya. Berada pada tepat sebelum akhir proses penerimaan karya sastra entah apresiasi, ekspresi, maupun kreasi. Tepat ketika mendapatkan momen:"Oh, ya!". Bagi saya, momen itu amatlah penting. Momen itu menunjukkan adalah sesuatu yang masuk ke dalam jiwa dan rasa pada penikmat sastra. Seringkali, saya membaca karya sastra dan tidak mendapatkan momen tersebut, dan alih-alih terpuaskan, membaca karya sastra justru merasa hampa. Tak segan, saya harus mengulanginya kembali untuk mendapatkan momen tersebut.
Momen:"Oh, ya!" dapat dikatakan merupakan salah satu tahapan dalam fase apresiasi sastra. Namun, tahapan ini bisa dikatakan sebagai kunci, membangun ingatan bahwa kita telah 'mendapatkan' karya sastra itu, baik secara bentuk, keindahan, dan fungsi. Bukankah itu yang kita harapkan?
2019
Komentar
Posting Komentar