Langsung ke konten utama

Pola pikir "Cukup" untuk Konsumsi Stok Pangan Kala Pandemi


unplash/rice

Pasar tradisional, supermarket, atau toko penjual kebutuhan pokok memang masih beroperasi. Tak ada yang tahu, di situasi pandemi ini, kegiatan ekonomi masyarakat khususnya pangan, apakah akan stabil seperti bulan ini, untuk dua atau tiga bulan ke depan.

Masyarakat yang memiliki lahan, seperti persawahan, perkebunan, dan ternak kondisinya agaknya lebih baik dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka, ketimbang masyarakat di daerah perkotaan yang "menunggu" kiriman hasil olahan hasil pertanian di desa, kecuali masyarakat kota yang bisa mengolah lahan sempitnya menjadi lahan produktif. 

Untungnya akses distribusi pangan masih longgar dalam penerapan sistem PSBB di beberapa daerah, jika itu tidak terjadi, kelangkaan bisa saja terjadi, dan sumber pangan menipis, dan saya yakin, hal itu tidak pernah kita harapkan.


Setidaknya dengan menerima kenyataan bahwa kondisi masyarakat, khususnya bidang pangan yang tidak stabil, kita bisa memulai dari diri kita untuk 'membantu' pemerintah dan masyarakat di sekitar kita tetap bisa mendapatkan pangan kala krisis ini.

Mengetahui proporsi makanan kita dengan jumlah energi yang kita butuhkan adalah salah satu cara yang dapat kita upayakan. Dalam situasi normal, porsi satu piring nasi, dengan lauk pauk yang bermacam-macam, beberapa minuman menyegarkan dengan kalori yang cukup tinggi bisa kita konsumsi, karena proporsi kegiatan kita sebanding dengan apa yang kita makan. 

Ditambah beberapa orang yang makan dengan porsi yang cukup hebat, namun mereka berolahraga, hal ini tidak akan dikhawatirkan ketika datang timbunan lemak pun atau obesitas. Hal ini dapat dikategorikan: wajar atau normal.

Namun, mari kita petakan situasi saat ini. Kegiatan di luar rumah, berubah menjadi di dalam rumah, bagi muslim bulan April akhir sudah berpuasa, setidaknya faktor psikis, tubuh akan meminta mengurangi kegiatan yang berat. Tidak ada gerakan yang dapat membakar kalori, kecuali mereka yang rajin berolahraga. 

Dengan kata lain, ketika nergi yang dibutuhkan tidak ketika kondisi normal, maka sumber makanan juga perlu dikurangi disesuaikan dengan kapasitas energi yang diperlukan. 

Setengah Piring Nasi

Dalam keadaan normal, satu piring nasi dikonsumsi memanglah ideal, namun dalam masa ini porsi tersebut setidaknya dikurangi menjadi setengah porsi, dengan satu jenis lauk, satu jenis menu sayur, dan sebuah minuman manis untuk menambah glukosa.

Jika ini dilakukan, secara kalkulasi, satu piring nasi yang hanya dikonsumsi dalam satu kali makan, bisa dikonsumsi satu hari. Bayangkan, jika awalnya dua piring nasi dalam sehari, bisa berubah dan menjadi cadangan makanan satu hari kedepan. Selain itu penumpukan karbohidrat, dan terhindar dari obesitas di pandemi ini akan terminimalisasi.


Pola pikir "cukup" 

Ini dapat dilakukan dengan pengubah pola pikir kita menjadi sederhana yakni pola pikir "cukup". Pola pikir ini sebenarnya sudah dikenal di kalangan orang jawa: urip prihatin. 


Pola pikir "cukup" ini mungkin akan sulit bagi yang terbiasa memakan porsi normal. Namun, ingat: peradaban (baru) kali ini akan dimiliki oleh orang-orang yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Artinya, standar kenormalan aktivitas manusia bisa berubah dengan situasi yang ada. Jadi, penting kita memetakan pola-pola baru setiap hari kebutuhan sesuai dengan kebutuhan kita dan kita musti bisa menyesuaikannya. 

Jadi, sebagai refleksi apakah langkah mengubah pola pikir "cukup" Ini patut kita lakukan?

eva, 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apakah Bahagia Benar Menjadi Salah Satu Tujuan Hidup?

Unsplash/happy Dari pandangan tentang tujuan kehidupan manusia, Aristoteles memilih kata kebahagiaan sebagai jawabannya. Namun, apakah Aristoteles serta merta mengamini tujuan itu? Dan apakah tujuan tersebut membuat manusia tahu tujuan hidupnya?  Kebutuhan menjadi manusia, adalah yang sedang aku cari selama ini. Menjadi manusia kata Aristoteles memiliki tujuan mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan itu bisa di dapat dengan mencapai sebuah kenikmatan. Kenikmatan yang musti kita cermati, yakni kenikmatan yang sebenar-benarnya dapat memenuhi menjadi manusia itu sendiri. Ia mencontohkan, makan dan sex serta menghindari rasa-rasa sakit adalah capaian kebutuhan kenikmatan ala "hewan ternak".  Ya, apa yang dilakukan ternak ia akan mencari makan ketika lapar, dan sex, tentu ia akan mencari pasangan yang mau melakukan hubungan itu, serta siapa-apa yang akan menyakitinya mereka akan lari ataupun menyerang. Itu semua adalah kenikmatan untuk mencapai bahagia: tujuan dari hid...

Ada yang Tahu, Saya sedang Ada Di mana?

Unsplash/waves Memisahkan kehidupan di dunia bukan berarti meninggalkan kehidupan di dunia, ia tumpangtindih, seperti ombak dan daratan. Ombak sesekali akan menuju daratan, dan sesekali pergi menjauh: tak selamanya menetap. Dan daratan tak berharap banyak untuk disinggahi ombak, namun setiap  ketika ada angin, angin mau membawa menyinggahi kehidupan, bahkan dengan besar.  *** Hallo, Manusianya ada? Oh, tidak ada ya? Kira-kira Manusia ada di mana ya? Mengurusi segala kehidupan di dunia bukanlah kuasa kita. Konsep Tuhan jelas meniadakan manusia sebagai pemilik abadi, dunia bukanlah milik manusia. Kita dihidupkan dan diciptakan hanya sebagai "tamu" yang dimuliakan, walau tak diagungkan. Penggunaan diksi ini sudah membedakan perspektif di mana posisi manusia, dengan posisi Tuhan yang sebagai Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Besar jelas pada tingkatan yang berbeda. Mulia adalah terhormat, yang tinggi. Maksudnya posisi ini tertinggi dari posisi manusia. Maka da...

Mengambil Jarak dengan Uang

                   Sumber foto: unsplash Mengambil sikap berjarak dengan uang merupakan sebuah keputusan yang sulit. Mengambil jarak maksudnya, bagaimana saya kembali menjadi 'tuan' mereka, setelah selama ini saya mempertuankan uang. Uang mengontrol saya, hingga saya merasa begitu dikontrol uang. Bayangkan, setiap waktu saya ingin bersama uang, menempelkan tangan pada dompet saya dengan intensitas yang tinggi di setiap harinya. Uang berkurang tanpa prediksi, dan perencanaan, kelimpungan, dan serba salah ketika menipis. Dan karena alasan-alasan tersebut, membuat saya untuk secepatnya mengambil keputusan untuk tidak terlalu dekat-dekat dengan uang. Menghabiskan waktu dengan uang: mendapatkan ataupun menggunakan, sama saja  melekatkan diri saya dengan uang. Hingga di suatu titik, saya memandang standar kehidupan bahagia mengukurnya dengan nominal uang yang ada di rekening saya. Saya bisa membeli apapun dengan uang dan hidup say...