Sri berkata-kata sambil bertatapan dengan bilik rumah yang terbuat dari bambu itu.
"Sampai kapan aku bahagia dengan cara yang tidak seperti ini, Tuhan? Akankah Engkau mau memberikan sesuatu yang lain untukku, di tahun ini? Aku siap untuk kaya, Tuhan. Aku tidak akan main-main jika kau izinkan menjadi orang kaya. Tetapi tidak mungkin aku begitu, aku terlalu pesimis. Oh, Tuhan, tapi aku mau, "
Dari celah bambu, angin berembus menerpa wajahnya. Sinar-sinar mulai menyelinap perlahan memanjang, dan menghujam wajahnya dan berbelok ke arah lantai rumah.
"Sri! Sri! Kamu dari mana?"
"Aku dari rumah lho, Mak, eh di rumah, Mak. Ini baru selesai sujud, ada apa?"
"Tadi kamu di Panggil Pak Jumari, untuk membantunya mengiret getah karet,"
"Apa yang terjadi dengan si Wawan yang membantunya selama ini?"
"Wawan akan menikah, Sri. Dengan Asri putri Pak Wo,"
Sri mengunci mulutnya dan mengambil selendang untuk menutupi kepalanya.
"Mau ke mana, Sri?"
"Ke hutan karet, bertemu Pak Jumari, setelah itu ke rumah Wawan, menyekik lehernya,".
" Jangan, Sri, jangan!"
Mak menggigit bibir dan mengerutkan dahinya, memandang punggung Sri semakin menjauh.
---
"Salah apa aku, Pak Jum, salah apa!" Teriak Sri di hadapan Pak Jum yang sedang mengiret getah karet.
"Tidak ada yang salah, Sri, semua orang berhak memilih hidupnya, termasuk si Wawan,"
"Iya, Pak Jum, tapi aku tak menyangka!" Sri mulai menaikkan nada suaranya, dan hampir seluruh anggota gerak badannya, bergerak, "dasar, lelaki buaya! Berani-beraninya dia mempermainkanku. Tidak, tidak hanya dia, dia dan dua orang temannya, Pak Jum, tiga! Tiga laki-laki brengsek itu omongannya kosong! Di sekitar pepohonan karet yang rindang ini, Pak Jum! Mereka, mereka, mengoyak tubuhku dengan janji-janji mereka!"
"Apa yang mereka janjikan kepadamu?"
"Sebuah kebun pisang milik si Darsam akan diberikan kepadaku, dan, ... "
"Dan apa?" Pak Jum, penasaran, "Dan apa, Sri, katakan!"
"Dan, Samsul,"
"Samsul, Samsul anakku?"
"I, i, i, ya, Pak"
"Samsul salah satu dari ketiga lekaki yang mengoyak tubuhmu?"
Sri hanya menunduk, dan tubuhnya kaku.
"Astaghfirullah, Samsuuul," Pak Jum menghentikan pekerjaanya, dan mengemasi ke dalam karung, dan mengikatnya cepat-cepat, menuju sepeda motornya, meninggalkan, Sri.
"Tidak bisa begini, Tiiiidak, tidak bisa begini!"
Suara Pak Jum lamat-lamat hilang ditelan kemarahannya.
---
"Sri, seluruh hutan karet ini akan jadi milikmu, Sri!" Samsul berseloroh.
"Sri, kebun pisang itu juga!" Dasrun menunjuk kebun pisang di belakang rumahnya.
"Aku tidak percaya," kata Sri.
"Kamu harus percaya pada lelaki, Sri, karena saat menikah, kamu harus taat sama suamimu?"
"Tidak selamanya begitu,"
"Ah, Sri, Sri, kau memang tak bakat percaya, hidup kamu memang untuk ragu, Sri. Ragu itu tidak bisa membuat kamu berpikir jernih, Sri,"
"Justru dengan ragu lah, kita bisa lebih ber hati-hati, tidak percaya begitu saja, bisa dicek kebenarannya," jawab Sri, "aku tak akan percaya semua yang akan kalian omongkan akan terjadi, apa itu pohon karetlah, kebun pisanglah, aku tahu, itu semua milik orang tua kalian!"
Sri mengunci mulutnya dan mengambil selendang untuk menutupi kepalanya.
"Mau ke mana, Sri?"
"Ke hutan karet, bertemu Pak Jumari, setelah itu ke rumah Wawan, menyekik lehernya,".
" Jangan, Sri, jangan!"
Mak menggigit bibir dan mengerutkan dahinya, memandang punggung Sri semakin menjauh.
---
"Salah apa aku, Pak Jum, salah apa!" Teriak Sri di hadapan Pak Jum yang sedang mengiret getah karet.
"Tidak ada yang salah, Sri, semua orang berhak memilih hidupnya, termasuk si Wawan,"
"Iya, Pak Jum, tapi aku tak menyangka!" Sri mulai menaikkan nada suaranya, dan hampir seluruh anggota gerak badannya, bergerak, "dasar, lelaki buaya! Berani-beraninya dia mempermainkanku. Tidak, tidak hanya dia, dia dan dua orang temannya, Pak Jum, tiga! Tiga laki-laki brengsek itu omongannya kosong! Di sekitar pepohonan karet yang rindang ini, Pak Jum! Mereka, mereka, mengoyak tubuhku dengan janji-janji mereka!"
"Apa yang mereka janjikan kepadamu?"
"Sebuah kebun pisang milik si Darsam akan diberikan kepadaku, dan, ... "
"Dan apa?" Pak Jum, penasaran, "Dan apa, Sri, katakan!"
"Dan, Samsul,"
"Samsul, Samsul anakku?"
"I, i, i, ya, Pak"
"Samsul salah satu dari ketiga lekaki yang mengoyak tubuhmu?"
Sri hanya menunduk, dan tubuhnya kaku.
"Astaghfirullah, Samsuuul," Pak Jum menghentikan pekerjaanya, dan mengemasi ke dalam karung, dan mengikatnya cepat-cepat, menuju sepeda motornya, meninggalkan, Sri.
"Tidak bisa begini, Tiiiidak, tidak bisa begini!"
Suara Pak Jum lamat-lamat hilang ditelan kemarahannya.
---
"Sri, seluruh hutan karet ini akan jadi milikmu, Sri!" Samsul berseloroh.
"Sri, kebun pisang itu juga!" Dasrun menunjuk kebun pisang di belakang rumahnya.
"Aku tidak percaya," kata Sri.
"Kamu harus percaya pada lelaki, Sri, karena saat menikah, kamu harus taat sama suamimu?"
"Tidak selamanya begitu,"
"Ah, Sri, Sri, kau memang tak bakat percaya, hidup kamu memang untuk ragu, Sri. Ragu itu tidak bisa membuat kamu berpikir jernih, Sri,"
"Justru dengan ragu lah, kita bisa lebih ber hati-hati, tidak percaya begitu saja, bisa dicek kebenarannya," jawab Sri, "aku tak akan percaya semua yang akan kalian omongkan akan terjadi, apa itu pohon karetlah, kebun pisanglah, aku tahu, itu semua milik orang tua kalian!"
- "Jika kau tak percaya
Komentar
Posting Komentar